Rasa sakit hati itu, walaupun abstrak, tapi dampaknya bisa sangat besar. Sebenarnya justru keabstrakannya inilah yang patut diwaspadai. Banyak banget tindak kriminal sadis yang hanya berawal dari sakit hati. Kita mungkin saja nggak pernah sadar kalau begitu banyak orang yang sakit hati gara2 perkataan atau perbuatan kita. Bisa pula sebaliknya, kita mungkin secara tidak sadar masih menyimpan sakit hati pada seseorang yang kita anggap pernah menyakiti kita.
Berhubung saya orangnya sering mikir, saya sering mengira2 apa sih makna dibalik rasa sakit itu sendiri?
Sebaiknya saya mulai penjelasannya dari luka fisik yang nampak dulu. Rasa sakit secara fisik, menurut kesimpulan saya merupakan tanda bahwa ada bagian tubuh kita yang terluka, nggak bisa menjalankan fungsinya seperti biasa, sehingga harus dilindungi dan diobati agar nggak semakin parah dan nggak ada akses buat kuman masuk. Dengan adanya rasa sakit, treatment kita pada bagian tubuh itu juga jadi beda..diberi antiseptic lah, diperban, juga nggak dipake buat mengerjakan sesuatu yang berat2 agar lukanya nggak tambah parah.
Untungnya sel tubuh kita juga mempunyai kemampuan regenerasi yang bagus. Luka itu akan sembuh kembali dan rasa sakit akan hilang dalam waktu yang relatif singkat, kecuali ada gangguan seperti infeksi atau ketidaknormalan lain. Luar biasa bukan? Orang yang nggak punya rasa sakit justru malah bahaya, dia bisa2 nggak sadar saat organ tubuhnya ada yg bermasalah dan nggak bisa menjalankan fungsinya seperti biasa.
Saya kira penjelasan di atas sudah cukup menggambarkan pentingnya rasa sakit secara fisik.
Rasa sakit hati menurut saya jauh lebih complicated. Nggak kentara, obatnya nggak bisa dibeli di apotik dan kapan sembuhnya sangat bergantung pada pihak2 yg terlibat dalam proses terjadinya luka itu sendiri. Rasa sakit hati yang sebenarnya identik dengan emosi adalah salah satu mekanisme manusia untuk mempertahankan diri dan bisa juga merupakan indikasi adanya ketidakberesan perasaan dan pola pikir kita. Fungsinya nggak jauh dengan rasa sakit secara fisik..
Perbedaan terbesarnya adalah, rasa sakit hati lebih controllable. Nggak seperti rasa sakit fisik, yang kalo sakit ya sakit aja, saat orang lain menyakiti atau mengecewakan kita, kita sebenarnya bisa memilih untuk sakit atau tetap baik-baik saja. Susah memang, apalagi untuk tipe orang yang begitu sensitif dan pemikir serta sangat menjunjung tinggi harga dirinya.
Dalam berinteraksi dengan orang lain memang sulit sekali untuk tidak pernah terluka. Manusia, dengan kebesaran egonya sadar atau tidak seringkali menyakiti orang, baik yang dia lakukan benar atau salah. Memuaskan semua orang memang hal paling mustahil. Mungkin saja semakin baik seseorang, malah semakin banyak orang yang benci dan sakit hati. Seperti Nabi kita tercinta, yang mau tidak mau harus "menyakiti" hati kaum kafir Quraisy yang nggak suka sama risalah yang beliau bawa. Mereka menganggap Nabi pembangkang dan penghianat karena berani menghina sesembahan nenek moyang. Makanya mereka nggak ada hentinya menyiksa beliau. Menghadapi siksaan semacam itu, normalnya orang pasti sakit hati kan? Diajak menuju kebenaran dengan jalan damai kok nyolot gitu...Tapi tidak dengan Nabi, beliau nggak pernah sakit hati dengan kelakuan orang yang selalu berusaha menyakitinya. Bahkan beliau pernah menjenguk dan mendoakan kesembuhan salah satu musuh yang sering melemparinya kotoran. Segala Puji bagi Allah, membicarakan keteladanan manusia satu ini memang nggak akan ada habisnya.
Alangkah senangnya kalau kita bisa menjadi figur seperti itu. Tanpa sakit hati yang berlebihan, hidup akan terasa jauh lebih indah. Rasa sakit hati yang berlebihan itu nggak ada gunanya, cuma jadi penyakit dan bikin hidup nggak tenang. Setiap hari yang dipikirkan adalah bagaimana agar rasa sakit hati kita terbalas. Yang rugi bukan orang yang kita benci, tapi kita sendiri. Selain buang-buang energi, memendam emosi macam itu juga nggak bagus dari segi kesehatan.
Saya baru-baru ini juga merasa tersakiti oleh seseorang. Prakteknya memang nggak segampang itu, melupakan hal buruk yang orang lain lakukan pada kita. Tapi saya berusaha untuk ikhlas. Kejadian itu terjadi bukan karena tanpa sebab. Allah pasti punya rencana lain, dan lagi, bisa saja keburukan yang kita terima merupakan hasil dari sikap buruk kita selama ini. Kuncinya memang ikhlas, sabar dan introspeksi. Yang sudah berlalu biarlah berlalu, biarkan hal itu menjadi pembelajaran agar kita lebih waspada ke depannya. Yakin deh, setelah mendung dan hujan, matahari akan kembali bersinar.
Bagi saya, orang yang terus meratapi masa lalu dan memupuk rasa sakit hati adalah orang yang paling nggak sayang sama diri sendiri. Dia nggak sadar kalau dia sedang menghancurkan dirinya perlahan-lahan karena setiap keburukan yang dipelihara pasti akan menarik keburukan lain.
Sesuatu yang sudah ditakdirkan terjadi memang tetap akan terjadi, tapi kita bisa memilih posisi kita, menjadi orang yang belajar darinya atau hancur karenanya. Inget lho, nggak ada sesuatu yang bisa menyakiti kita selama kita tidak mengijinkannya. Makanya, berikan shield terbaik buat diri kita agar kita tidak terluka. Ikhlaskan jika ada orang yang berbuat kurang baik pada kita, kita doakan semoga orang itu cepet sadar dan nggak adalagi orang yang sakit hati gara-gara dia. Sebenarnya menegur si pelaku secara baik-baik juga perlu, apalagi jika ada indikasi ketidaksengajaan. Namun saya seringkali memilih diam, karena kultur tempat saya dibesarkan menganjurkan agar lebih banyak diam dan sabar, hehe.
Bagaimanapun saya masih belajar untuk bisa ikhlas atas apapun yang terjadi pada saya. Karena buah ikhlas itu sangat indah dan kita tidak akan pernah tahu seperti apa bentuknya sampai kita sendiri mendapatkannya. Satu lagi pelajaran yang saya dapat, kadangkala kita baru tahu kalau sesuatu hal bisa menyakiti hati begitu hal itu terjadi pada kita. Semoga ke depannya saya nggak melakukan hal itu pada orang lain agar nggak ada lagi orang yang terluka gara2 perbuatan saya.