Selasa, 10 Januari 2012

Kedelai


Ada kedelai rebus di meja tengah ruang kerja saya...
Seketika ingatan saya melayang…lebih tinggi dari atap gedung 20 lantai ini, menuju ke tenggara, sekitar arah jam 4 dari Jakarta…mendaki gunung, lewati lembah (kayak ninja hatori), sungai, sawah, dan sampailah di daerah pesisir pantai selatan bernama Kebumen, 13-15 tahun yang lalu.
Ternyata beberapa butir kedelai bisa menjadi sebuah mesin waktu ya..
Kembali ke masa ketika semua masalah begitu sederhana…lupa ngerjain PR, dimarahin orang tua , berantem sama adik2, bertengkar sama teman..
Begitu jam pulang sekolah tiba, 12.45 saya dan teman2 berjanji akan main ke sawah sekitar jam 13.30. Saat itu sedang kemarau, sehabis panen padi. Para petani di desa saya mengakali sawah yang belum bisa ditanami padi untuk panen berikutnya dengan dua cara, dibuat pabrik batu bata dadakan atau ditanami keledai, kacang ijo atau palawija lain yg nggak butuh banyak air untuk tumbuh.
Matahari terik banget, di sawah kan memang jarang ada pohon gede..sebagian besar pemilik sawah sudah memanen keledainya. Inilah yang kami tunggu, masa pasca panen kedelai dimana masih banyak butir2 kedelai yang tertinggal di area sawah maupun pematangnya. Mencuri? nggak juga, si pemilik sudah ikhlas kok, aktivitas ini sudah sangat umum di daerah saya…lagian hanya beberapa butir nggak akan merugikan mereka, toh mereka nggak bakal meriksa kembali sawahnya untuk mengambil butir2 kedelai yang tertinggal.
Kami berangkat dengan membawa alat tempur masing2, biasanya sih berupa wadah dari plastik yang berlubang2 untuk tempat kedelai nanti. Dimulailah pencarían…menyusuri tapak demi tapak tanah persawahan yang kering, kadang tanpa alas kaki. Senang sekali rasanya saat melihat kedelai berceceran, nggak lama kami pun sudah mengumpulkan kedelai yang lumayan banyak. Rasa senang berubah menjadi puas saat tahu bahwa saya berhasil mengumpulkan kedelai lebih banyak dari teman-teman.
Saat matahari sudah condong dan adzan ashar terdengar, pencarían dihentikan dan kami beranjak pulang. Jangan pikir kami langsung pulang ke rumah, kami biasanya mampir dulu ke gundukan jerami. Para petani biasa mengumpulkan jerami untuk kemudian dibakar dan dijadikan pupuk. Saat belum dibakar, gunungan2 jerami itu menjadi taman bermain di tengah sawah. Kami biasa menaikinya dan loncat2 di atasnya, sambil teriak atau nyanyi biar lebih mendramatisir. Tumpukan jerami itu trampolín kami.  Angin di sawah benar-benar mantap…kami tertawa kegirangan saat jatuh dan terguling-guling menuruni gunung jerami, begitu sampai kami puas dan kemudian pulang ke rumah.
Sampai di rumah, kedelai dicuci kemudian direbus sambil dibubuhi garam. Biasanya paman saya yang membantu masak, saya sendiri harus mandi. Ternyata gunungan jerami itu nikmat yang berbalut  kesengsaraan. Saat mandi, kulit yang tergesek jerami terasa sedikit perih..tapi saya dan teman-teman nggak pernah kapok untuk main lagi.
Sehabis mandi dan solat biasanya saya dan keluarga menonton drama China di TV, saat itulah kedelai rebús itu dihidangkan. Ibu yang baru pulang kerja pasti tanya “dapat kedelai dari mana?”, saya jawab saja kalau itu hasil jerih payah saya memulung di sawah sesorean. Ibu nggak pernah marah anak ceweknya lari-larian di sawah, kulitnya terbakar matahari atau belepotan lumpur saat musim hujan. Asal nggak lupa mandi, solat dan ngaji..itu kata beliau, eh..makan juga sih, soalnya saya susah makan waktu kecil.
Nggak sadar keledainya di meja kantor dah abis, saya pun kembali ke Jakarta, di Januari 2012. Entah kapan lagi saya biasa memunguti kedelai sisa panen bersama teman dan menaiki gunungan jerami.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar